Perubahan pola cuaca yang terjadi belakangan telah mengakibatkan banyak hal. Hal itu tidak hanya memengaruhi pertanian yang bergantung pada musim, tapi juga menimbulkan berbagai jenis penyakit.
Perubahan cuaca tersebut hanya satu contoh dampak yang dilahirkan perubahan iklim global. Perubahan iklim global tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir di semua belahan bumi. Tetapi, perubahan iklim itu juga disebabkan hal lain, yaitu pemanasan global (global warming).
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut, dan daratan. Penyebabnya, pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Pembakaran tersebut melepas karbondioksida (CO2), gas metan (CH4), nitrous oksida (N2O), hydrofluorocarbons (HFCs), perfluorocarbons (PFCs ), dan sulphur hexafluoride (SF6) di atmosfer yang dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK).
Bagaimana dampak yang dirasakan Indonesia? Tidak dapat dimungkiri, kebijakan pemerintah mengimpor beras pada akhir 2006 dan awal 2007 ini adalah sebagai salah satu akibat dari tidak menentunya cuaca akibat pemanasan global. Hal itu diakui Menteri Pertanian Anton Apriantono. “Mau bagaimana lagi. Kita kan tidak bisa memprediksi kapan datangnya hujan,” ungkap Anton kepada Jawa Pos beberapa waktu lalu.
Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Sri Woro B. Harijanto mengungkapkan, sebenarnya Indonesia telah merasakan efek global warming dalam tiga tahun terakhir. Dia mencontohkan terlambatnya musim penghujan yang seharusnya sudah turun pada Oktober lalu. Namun, hingga Desember, hujan tak kunjung datang. Keterlambatan itu juga disertai dengan pendeknya periode hujan, namun intensitasnya tinggi. “Akibatnya, kemarin banjir melanda Jakarta dan sekitarnya,” ujar Woro.
Anomali itu, lanjut Woro, banyak pihak merasakan dampak negatifnya. “Terutama mereka yang mata pencahariannya bergantung pada cuaca, seperti petani dan nelayan,” jelasnya.
Dia menambahkan, khusus untuk Indonesia, fenomena yang terjadi saat ini lebih disebabkan pada rumitnya posisi geografis. Pengaruh itu terbagi atas pengaruh global dan pengaruh lokal. Pengaruh global disebabkan posisi Indonesia terletak di sekitar Samudera Pasifik dan Lautan Hindia.
Sementara itu, pengaruh lokal disebabkan topografi Indonesia. Letak Indonesia pada garis ekuator juga membuat sirkulasi khas yang memengaruhi cuaca. “Maka, kita harus hati-hati ketika berbicara tentang cuaca atau musim,” bebernya. Meski demikian, sesuai dengan tugasnya, BMG selalu melansir informasi yang terkait dengan cuaca tersebut untuk kepentingan maritim ataupun publik.
Pemanasan global akibat ulah manusia juga diakui Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. “Terpuruknya dunia ini akibat ulah manusia,” ujar Rachmat. Karena itu, manusia juga harus mengobatinya. “Manusia harus berusaha mengatasinya,” tambahnya.
Dulu, isu perubahan iklim belum ditanggapi serius oleh manusia. “Dulu hanya dianggap biasa saja. Padahal, ini berbeda dengan gempa misalnya,” katanya.
Dampak dari perubahan iklim sangat membahayakan kehidupan. Bahkan, menurut Rahmat, ancaman yang ditimbulkan lebih berbahaya daripada terorisme. Sebab, dampaknya akan menyebabkan kerusakan fatal di bumi pada beberapa dekade ke depan. “Bukan (ancaman) global terrorism tidak penting, tapi ini (climate change) lebih penting,” tukasnya.
Salah satu yang dimaksud dengan kerusakan fatal itu adalah ancaman bagi keanekaragaman hayati. Pasalnya, setiap spesies harus beradaptasi dengan perubahan iklim. Jika tidak, diperkirakan satu juta spesies akan punah.
Selain itu, di antara 17.500 pulau di Indonesia, sekitar 4.000 pulau akan tenggelam karena naiknya permukaan air laut ke daratan. Mengatasinya memang tidak mudah. Sebab, itu juga bergantung pada subjektivitas masing-masing negara dalam menyikapi perubahan iklim. “Tidak mudah karena perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara berkembang. Mungkin saja Amerika bilang nggak apa-apa. Tetapi kita?” jelas mantan Dubes RI untuk Rusia tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar